Upacara Adat Maluku – Maluku merupakan sebuah provinsi dengan perhitungan jumlah penduduk di tahun 2020 mencapai jumlah 1.848.923 jiwa.
Terdapat beberapa suku yang memiliki pengaruh di Maluku, salah satunya adalah suku Ambon.
Jika diketahui lebih dalam, Maluku juga memiliki memiliki beragam upacara adat dengan masing-masing pelaksanaannya yang berbeda-beda.
Setiap upacara adat yang berlangsung pastinya memiliki makna dan maksud tertentu. Bahkan juga terdapat sebuah keunikan tersendiri di setiap masing-masing upacara adat yang berlangsung.
Semuanya mengenai upacara adat ini akan kita bahas pada pembahasan berikut ini, berikut penjelasannya.
Beragam Bentuk Upacara Adat Maluku
Provinsi Maluku memiliki cukup banyak upacara adat, salah satunya adalah upacara adat sasi. Nah, untuk mengetahui berbagai upacara adat dari Maluku kalian bisa menyimak ulasannya sebagai berikut.
1. Upacara Adat Sasi
Sasi merupakan upacara adat yang hampir dilaksanakan di seluruh wilayah Maluku dan Papua. Upacara ini dilakukan bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Upacara adat sasi biasanya diadakan untuk kelangsungan masyarakat yang hidup di daerah sekitar pinggiran laut. Namun, upacara adat ini juga bisa diterapkan di wilayah daratan, lo.
Dalam tradisi sasi, ada aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Aturan tersebut menyatakan bahwa tidak ada yang bisa memanen hasil panen sebelum waktunya.
2. Upacara Adat Hawear
Budaya hawear bersumber dari sejarah yang diyakini ada oleh masyarakat kepulauan Kei secara turun temurun.
Dikisahkan ada seorang gadis yang diberikan oleh Hawear (janur kuning) oleh ayahnya. Hawear yang diberikan ayahnya untuk menjaganya agar tidak diganggu selama perjalanan panjangnya untuk menemui Raja.
Bertujuan juga sebagai simbol kepemilikan yang mana menandakan bahwa gadis tersebut telah dimiliki oleh seseorang.
Sehingga diharapkan Hawear yang dibawa oleh gadis tersebut dapat menjaganya agar tidak diganggu oleh orang yang tidak dikenal.
Hingga saat ini Budaya Hawear masih dilaksanakan sesuai dengan makna yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat sekitar Kepulauan Kei.
3. Upacara Pataheri
Membahas tentang tradisi Pataheri tidak lepas dari Suku Naulu sebagai masyarakat yang menegakkan tradisi ini.
Suku Naulu (juga dieja Noaulu atau Nuaulu) sebagian besar mendiami wilayah selatan-tengah Pulau Seram, Maluku.
Ciri utama Suku Naulu adalah ikat kepala berwarna merah yang dikenakan oleh pria dewasa. Umumnya, masyarakat suku Naulu memegang kepercayaan tradisional yang diwarisi dari nenek moyang mereka.
Sebenarnya ada dua ritual yang dianggap tidak lazim oleh Suku Naulu, yaitu tradisi mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan, dan tradisi memenggal kepala manusia sebagai persembahan.
Pataheri adalah ritual yang diberlakukan hanya untuk anak laki-laki yang sudah memasui usia dewasa.
Dalam tradisi Suku Naulu, seorang pria yang telah beranjak dewasa wajib mengenakan ikat kepala berwarna merah yang terbuat dari kain berang-berang.
Namun, untuk mendapatkan ikat kepala ini, ada satu syarat yang harus dipenuhi oleh anak. Sebagai syarat, anak tersebut harus memenggal kepala orang lain, kemudian ia diperbolehkan memakai ikat kepala berwarna merah.
Tapi untungnya, tradisi angker ini sudah dihentikan sejak awal 1900-an. Namun, kembali muncul secara ilegal pada 2005 yang mana saat itu ditemukan 2 mayat tanpa kepala di Amahai, Maluku Tengah.
Penyidik menemukan beberapa bukti yang mana dua orang itu dipenggal kepalanya untuk upacara adat sesaji Suku Naulu. Pelaku akhirnya divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Masohi.
Kini, tradisi mengerikan ini telah dihapuskan, baik untuk sesajen maupun ritual pengangkatan anak suku menjadi laki-laki dewasa.
Namun sebaliknya, persembahan untuk ritual membesarkan anak-anak Naulu menjadi laki-laki dewasa adalah dengan menyembelih hewan kuskus.
4. Upacara Arumbae
Arumbae merupakan simbol budaya masyarakat Maluku yang sebagian besar berprofesi sebagai pelaut atau nelayan.
Budaya arumbae juga merupakan simbol masyarakat Maluku yang dinamis dan memiliki nilai juang yang sangat tinggi.
Bertujuan untuk menghadapi tantangan dalam menyambut masa depan yang lebih baik dan cerah.
5. Upacara Adat Tihi Huau
Tihi Huau adalah tradisi yang diadakan oleh suku dari maluku yaitu suku Naulu. Bagi masyarakat suku Naulu, anak laki-laki atau perempuan diyakini mudah disusupi oleh pengaruh roh jahat.
Sehingga, tradisi Tihi Huau diadakan sebagai ritual agar anak-anak terlindungi dari kejahatan tersebut.
Tidak hanya itu, dalam acara ini diharapkan sifat-sifat buruk orang tua tidak diturunkan kepada anak-anaknya, sehingga kelak kelak tumbuh menjadi orang-orang yang baik.
6. Upacara Adat Timba Laor
Timba Laor merupakan salah satu festival khas Maluku berupa ritual mencari cacing laut yang dilakukan oleh masyarakat Ambon.
Terdapat beberapa masyarakat mengatakan bahwa tradisi timba laor mirip dengan Festival Bau Nyale yang berada di Lombok.
Banyak juga dari wisatawan datang berkunjung ke Maluku karena ingin menjumpai secara langsung pelaksanaan festival Timba Laor.
Para pengunjung akan diajak menggambar laor (cacing laut) yang muncul ke permukaan selama kurang lebih dua jam saat bulan purnama.
Saat-saat seperti itu sangat jarang. Dalam setahun, mungkin hanya terjadi satu kali saat bulan purnama, yaitu pada bulan Maret atau April.
Tidak hanya mengambil laor, pada festival ini para pengunjung juga diajak untuk memasak dan makan laor bersama dengan warga.
Laor sendiri adalah sebutan untuk cacing laut atau lycde oele. Cacing laut ini memiliki warna yang beragam, ada yang merah, hijau, atau kuning, dengan panjang 3-5 cm.
Cacing laut ini juga dikabarkan memiliki kandungan protein tiga kali lipat lebih banyak dari ikan.
Festival unik ini biasanya diadakan di beberapa daerah seperti:
- Desa Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe
- Desa Rutong dan Hukurila
- Distrik Leitimur Selatan
- Pantai Latuhalat dan Pantai Air Low
7. Upacara Adat Batu Pamali
Batu Pamali merupakan representasi dari kehadiran nenek moyang “Tete dan Nene Moyang” dalam kehidupan masyarakat Maluku.
Bentuk batu pamali berupa batu alas atau alas yang diletakkan di samping rumah Baileo. Batu pamali merupakan bentuk atau sistem pemersatu perbedaan dari soa-soa (kelompok masyarakat) yang ada di suatu desa.
Dalam sebuah desa di Maluku, Batu Pamali dimiliki oleh seluruh penduduk desa, meskipun mereka berasal dari berbagai golongan, termasuk perbedaan agama.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kepercayaan di masyarakat, telah terjadi pergeseran makna dan praktik ritual keberadaan Batu Pamali.
Sampai saat ini masyarakat Maluku masih banyak yang percaya dengan makna Batu Pamali. Meskipun sistem adat yang asli telah diganti dengan sistem pemerintahan desa yang seragam berdasarkan UU tahun 1979.
8. Upacara Adat Makan Patita
Tradisi ini merupakan jamuan makan bersama yang diadakan oleh masyarakat Maluku. Sampai sekarang tradisi ini masih dilestarikan.
Biasanya makan patita akan diadakan ketika ada momen-momen besar yang terjadi, seperti:
- Ulang tahun atau perayaan hari jadi berdirinya kota
- Peringatan kemerdekaan negara Indonesia
- Perayaan hari besar di suatu daerah
- Peringatan tempat-tempat memuja
Tradisi ini menyajikan menu makanan khas Maluku, seperti ikan asar, patata rebus, sayur, papeda, singkong rebus, dan sebagainya.
9. Upacara Adat Pela Gandong
Pela Gandong merupakan tradisi penduduk Maluku Tengah yang masih diadakan hingga saat ini. Tradisi ini hadir dalam bentuk janji untuk mempererat persaudaraan antar negeri atau sebuah wilayah.
Umumnya, pada saat pengambilan sumpah, para pemimpin masing-masing negeri akan meminum campuran sopi (tuak Maluku) dan darah tubuh mereka.
Sebelum diminum, setiap senjata tajam juga dicelupkan ke dalam air. Berdasarkan perjanjian ini, setiap daerah yang terikat olehnya wajib saling membantu.
Hal ini terutama terjadi dalam keadaan kritis, seperti bencana alam atau perang. Dalam hal ini posisi tambahan diterapkan yaitu sikap tolong-menolong diperlakukan, layaknya seorang saudara.
10. Upacara Adat Obor Pattimura
Pattimura merupakan seorang pahlawan nasional yang berasal dari Maluku. Pattimura menjadi salah satu motivator bagi masyarakat Ambon untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Obor Pattimura merupakan salah satu tradisi masyarakat Maluku yang dilaksanakan hampir setiap tahun.
Tradisi ini dimulai dari Pulau Saparua menyeberangi lautan menuju Pulau Ambon, kemudian diarak sepanjang 25 kilometer menuju Kota Ambon.
Tradisi obor pattimura diawali dengan pembakaran obor secara alami di puncak Gunung Saniri di Pulau Saparua. Gunung Saniri merupakan salah satu situs sejarah perjuangan pahlawan Pattimura.
Tempat ini juga merupakan awal dari perjuangan perlawanan rakyat Maluku terhadap penjajah Belanda pada tahun 1817.
Menurut sejarah, Gunung Saniri merupakan tempat para Latupati atau raja-raja bersama-sama mengadakan Rapat Saniri untuk menyusun strategi perang Benteng Duurstede.
11. Upacara Abdau dan Kaul
Abdau dan Kaul merupakan budaya yang sudah diadakan sejak tahun 1600-an M, dimana acara ini dilakukan secara rutin saat waktu hari raya Idul Adha tiba.
Kegiatan yang diadakan di Negeri Tulehu, Maluku Tengah, biasanya berupa pertunjukan, atraksi, dan parade budaya.
Acara kaul kurban atau penyembelihan hewan kurban menjadi acara inti dalam tradisi ini. Daging hewan kurban akan dibagikan kepada fakir miskin dan mereka yang berhak menurut syariat Islam.
12. Upacara Cuci Negeri Soya
Cuci negeri adalah upacara yang bermakna untuk membersihkan dan menyucikan diri dari perasaan-perasaan buruk, seperti permusuhan, kecurigaan, dengki dan dengki.
Upacara ini dilaksanakan di hari minggu kedua pada bulan Desember dan dipimpin langsung oleh seorang Upu Latu atau raja.
Terdapat beberapa rangkaian upacara adat yang perlu dilakukan ketika pelaksanaan upacara cuci adat negeri ini, antara lain:
- Membersihkan Negeri
- Mendaki Gunung Sirimau
- Upacara Cuci Adat Negeri
- Pencucian Air
- Memasukkan Kain Gandong
13. Upacara Adat Fangnea Kidabela
Fangnea Kidabela merupakan sebuah Upacara adat berasal dari kepulauan Tanimbar atau yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Upacara Fangnea Kidabela memiliki makna memperkuat “fangnea” terhadap persaudaraan “itawatan” dan keakraban “kidabela” antar umat sebagai bentuk persatuan dan kesatuan.
Upacara Fangnea Kidabela sesuai dengan maksud dan maknanya dapat menciptakan suasana sosial yang kuat dan kokoh.
Persatuan dan kesatuan akan tetap terjaga dengan baik dalam situasi apapun. Hal ini diharapkan dapat mencegah konflik dan perpecahan yang dapat berujung pada kehancuran dan kesuraman.
Hingga saat ini, upacara Fangnea Kidabela sering diadakan untuk mempererat persaudaraan dan persatuan masyarakat Maluku Tenggara Barat.
14. Upacara Pukul Sapu (Menyapu)
Pukul sapu (Menyapu) merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat Mamala dan Morela, Ambon, Maluku.
Pukul Manyapu adalah suatu kegiatan dimana beberapa pemuda saling memukul dengan tongkat atau sapu ijuk sampai terluka, dan pada akhirnya tongkat itu diolesi minyak mamala.
Tradisi pukul sapu dilakukan setiap tanggal 7 Syawal dalam penanggalan Islam atau pada hari raya Idul Fitri.
Tradisi pukul sapu ini sebenarnya tentang kegunaan dan khasiat minyak mamala yang dipercaya sangat ampuh untuk menyembuhkan segala jenis luka.
Berawal dari sejarah rusaknya tiang-tiang masjid yang berhasil disambung kembali menggunakan minyak mamala pada abad ke-16.
Hal ini membuat para leluhur banyak yang penasaran dengan khasiat yang terkandung dalam minyak mamala.
Hingga pada akhirnya, mereka melakukan semacam eksperimen dengan memerintahkan dua pemuda untuk saling pukul dengan menggunakan tanaman padi.
Kemudian leluhur mengoleskan minyak mamala pada luka kedua pemuda tersebut. Sungguh tidak disangka, luka tersebut sembuh tanpa meninggalkan bekas.
Kegiatan inilah yang menjadi sumber dari munculnya tradisi tahunan Pukul sapu yang berlangsung hingga saat ini.
15. Upacara Adat Masa Kehamilan Suku Nuaulu
Tradisi lain dari suku Naulu adalah mengasingkan wanita hamil dan wanita yang sedang menstruasi. Tradisi ini memang berlaku bagi masyarakat Naulu yang mendiami pedalaman pulau Seram Maluku.
Para wanita ini akan diisolasi di gubuk-gubuk yang telah disiapkan dan dibuat khusus. Para ibu hamil tersebut akan diantar oleh keluarganya ke tempat pembuangan yang disebut tikusune.
Lokasi gubuk pengasingan ini sendiri cukup jauh dari tempat tinggal penduduk asli Naulu. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi yang sudah lama mendarah daging di suku Naulu.
Sekian dari pembahasan mengenai upacara adat yang berasal dari Maluku. Setelah membaca ini semoga kalian bisa lebih mengenal mengenai berbagai upacara adat, terutama yang berasal dari Maluku.
Leave a Reply